Yang kuingat, Rian selalu ada dalam setiap episode kehidupanku. Jika di dunia ini memang benar bahwa ada seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi soulmate kita, barangkali dialah orangnya. Dia sudah selalu ada di depan mataku, sejak aku mampu melihat dunia. Rumah kami berdampingan, begitupun jendela kamarku yang berhadapan dengan jendela kamarnya. Sejak belia, kami sudah sering bersama-sama memandang bintang dan rembulan di langit malam yang pekat. Lalu entah pada malam yang keberapa, saat itu aku kelas 2 SMP, dia kelas 3 SMP. “Rania, nanti kalo udah gede kamu mau jadi apa?” tanyanya suatu ketika. Pandangannya tetap melangit. “Hmmm.” Kuletakkan telunjuk di dagu, berekspresi seolah-olah berpikir keras. “Nggak tahu nih. Mau jadi istri kamu aja boleh?” Aku tersenyum jenaka kala Rian memutar kedua bola mata. Sengaja membuatnya jengkel. Bagiku, ekspresi wajahnya ketika marah selalu mengundang aku untuk selalu membuatnya marah. Tanpa aba-aba, ia menyentil kepalaku. “Bego lu,” ia beranjak dar...
huru-hara kehidupan yang patut dirayakan