Langsung ke konten utama

di balik kata sahabat

Yang kuingat, Rian selalu ada dalam setiap episode kehidupanku. Jika di dunia ini memang benar bahwa ada seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi soulmate kita, barangkali dialah orangnya.

Dia sudah selalu ada di depan mataku, sejak aku mampu melihat dunia. Rumah kami berdampingan, begitupun jendela kamarku yang berhadapan dengan jendela kamarnya. Sejak belia, kami sudah sering bersama-sama memandang bintang dan rembulan di langit malam yang pekat.

Lalu entah pada malam yang keberapa, saat itu aku kelas 2 SMP, dia kelas 3 SMP.

“Rania, nanti kalo udah gede kamu mau jadi apa?” tanyanya suatu ketika. Pandangannya tetap melangit.

“Hmmm.” Kuletakkan telunjuk di dagu, berekspresi seolah-olah berpikir keras.

“Nggak tahu nih. Mau jadi istri kamu aja boleh?” Aku tersenyum jenaka kala Rian memutar kedua bola mata. Sengaja membuatnya jengkel. Bagiku, ekspresi wajahnya ketika marah selalu mengundang aku untuk selalu membuatnya marah.

Tanpa aba-aba, ia menyentil kepalaku.

“Bego lu,” ia beranjak dari posisinya.

“Eh, mau ke mana?” tanyaku heran.

“Mau pulang. Takutnya nanti gue ketularan bego lagi.” Kemudian langkahnya mulai meninggalkanku.

Aku tertawa girang. Puas sudah sukses membuatnya jengkel.

“Dasar manusia serius,” tukasku. Tidak mungkin juga aku bersedia menjadi istri dari seorang Rian yang kaku dan monoton.

Tak berlama-lama, aku turut meninggalkan taman belakang rumahku. Teringat bahwa besok aku harus mengikuti lomba puisi antar kelas. Aku harus mempersiapkan diri agar hasil yang kudapatkan bisa maksimal.

***

Langit sore kelabu mulai merinaikan bebannya. Seperti biasa, sejak November mengambil alih, cahaya matahari seperti mengurangi eksistensinya. Memberi kesempatan penuh kepada awan dan hujan untuk menyapa bumi.

Di dalam sebuah ruangan kelas salah satu SMP di Kota Makassar, panggung saat ini menampilkan peserta nomor urut 08 yang tengah memperlihatkan kepiawaiannya dalam berdeklamasi.

Wajah-wajah penyuka sastra, pun supporter dari masing-masing peserta, memenuhi ruangan. Dengung suara bercampur riuh. Meski berulang kali diarahkan untuk tetap tenang, rupanya manusia adalah makhluk yang paling sulit disuruh diam.

Sementara itu, sepasang mata masih tertuju sepenuhnya ke atas panggung. Tak ada yang mampu menebak maksud dari sorot mata bercahaya itu. Hanya ia sendiri. Hanya ia yang paham betapa peserta bernomor urut 08 itu selalu mampu membuatnya bersemangat hanya dengan melihatnya.

Tak lama setelah itu, riuh tepuk penonton mengakhiri penampilan peserta tadi. Dengan anggun, ia melangkah turun dari panggung. Senyum memperlihatkan lesung pipi membingkai wajahnya. Langkahnya mengarah pada sosok remaja laki-laki yang sejak tadi ia sadari keberadaannya.

“Eh, gimana penampilanku tadi? Nggak malu-maluin, kan?” tukasnya setelah sampai di hadapan lelaki itu.

“Biasa aja.”

“Dihh, dasar manusia es. Apa susahnya coba kalau kamu bilang, ‘Wah, bagus banget Rania. Bangga deh bisa berteman sama kamu,’” tukas perempuan itu dengan wajah kesal.

“Sesekali memuji orang nggak bakal bikin kamu rugi kok,” lanjutnya.

Lelaki itu tersenyum tipis.

“Ya kan tadi kamu nanya gimana pendapatku tentang penampilan puisimu, terus aku jawab jujur. Karena emang aku ngeliatnya biasa aja,” tukas lelaki itu.

“Hadeh, dasar ya. Gini nih kalau berteman sama laki-laki kulkas. Nggak ada sense of estetika sama sekali.”

Rania memutar kedua bola matanya. Hatinya sudah kebal dengan sikap Rian yang kelewat jujur. Dan kelewat datar. Berulang kali ia dibuat kesal oleh kata-kata setajam silet yang diucapkan lelaki itu. Dan berulang kali pula dibuat bingung, harus ia bagaimanakan lagi satu sahabatnya ini agar menjadi sosok laki-laki yang, setidaknya, sedikit hangat.

“Yok, ke tempat biasa,” tukas Rian kemudian melenggang pergi dengan langkah kakinya yang panjang-panjang. Merasa tak perlu menunggu Rania, atau sedikit melambatkan langkah agar kaki-kaki pendek Rania tak kesulitan menyejajari langkahnya.

Namun begitulah dua anak manusia itu dipertemukan. Rania dengan tingkahnya yang random, super ekstrovert, dan senang berteman, bertemu dengan Rian yang dingin dan antisosial.

***

Suatu hari, kudapati Rian tengah duduk di taman belakang rumahnya. Ia seperti memikirkan sesuatu. Seperti raganya ada di sana, namun angannya jauh melanglang buana.

Aku mendekati sahabatku itu dengan langkah perlahan. Ia sedikit terkejut kala tangan kananku menepuk pelan bahu kanannya.

“Kenapa, Yan?”

“Nggak apa-apa.” Lalu ia mengalihkan pandang ke dalam rumahnya. Rumah yang selalu megah di mataku, namun tak banyak yang tahu bahwa ada retak yang tak kalah besar yang terjadi di dalam rumah itu. Aku bisa menebak karena suara teriakan bercampur bunyi barang-barang yang dilempar merasuki kedua telingaku.

Semua orang tahu kalau Om Irwan adalah pengacara top saat ini, dan Tante Karin tak kalah sukses menjadi dokter di sebuah rumah sakit ternama. Namun tak banyak yang tahu bahwa kesempurnaan keduanya tak cukup menjadi alasan untuk membawa damai pada sebuah rumah tangga. Dan, selalu Rian yang menjadi korbannya.

“Cerita, Yan, kalau punya masalah.” Aku duduk di sampingnya.

“All is well, Rania. Kamu nggak usah khawatirin aku ya,” ucapnya—berbanding terbalik dengan keadaannya.

“Apa susahnya sih cerita?” ucapku sedikit kesal, merasa eksistensiku sebagai sahabatnya diabaikan.

“Cerita nggak bakal bikin lo keliatan lemah, Yan. Lagian gue nggak mau ya lo nanti tiba-tiba jadi orang gila karena stres berlebihan.”

“Nanti kalo lo gila, siapa dong yang antar gue ke sekolah?” Aku bergidik ngeri membayangkan sahabatku benar-benar menjadi gila.

“Papa selingkuh,” Rian mulai membuka suara.

“Mama minta cerai,” lanjutnya.

Aku masih diam menyimak.

“Aku bingung, Ran. Kalo mereka beneran cerai, aku nggak tau mau ikut siapa.”

Aku memeluknya. Mencoba mentransfer energi. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Aku tidak pernah berada di posisi Rian, tapi aku paham bagaimana patahnya.

“Yan, lo tau kan kalo kita udah sahabatan dari dalam kandungan?”

“Mungkin gue belum bisa bantu apa-apa. Tapi kapan-kapan lo butuh cerita, lo tau kan harus ke mana?” Aku menatap netranya.

Rian mengedip-ngedipkan matanya, memaksa menarik sudut bibirnya. Namun aku bisa memastikan bahwa kedua netra itu sedang berusaha meredam matanya yang mulai berkaca-kaca.

“Ke rumah, yuk.” Aku beranjak dari tempat dudukku, menarik tangannya setengah memaksa. Rian mengikuti dalam diam.

“Tadi Ibu habis bikin puding mangga kesukaan aku. Karena hari ini aku baik, aku rela deh bagi ke kamu.”

Rian mendorong kepalaku pelan. Ia masih minim kata-kata. Namun setidaknya ini lebih baik dibanding kulihat dia duduk sendiri di belakang rumahnya.

***

Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku terbangun dengan perasaan ringan seperti ini. Euforia memenuhi perasaanku. Hari ini adalah hari terakhirku berstatus sebagai siswi.

Setelah bersiap-siap ke sekolah, aku melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil kotak sarapan yang sudah disiapkan Ibu.

Seperti biasa, meja makan sudah diisi oleh tiga orang yang familiar: Ibu, Ayah, juga Rian—sahabat merangkap sopir pribadiku sampai saat ini.

“Kebiasaan nih telat mulu. Rian sudah nunggu dari tadi loh.”

Aku mencengir. “Ya maaf, Bu. Kayak nggak ngerti aja kalau cewek gimana.”

Aku meraih tangan Ibu untuk salam, kemudian Ayah. Lalu kami segera berangkat ke sekolah untuk mengikuti rangkaian acara penamatan dan perpisahan. 

Acara demi acara berjalan khidmat. Ada tawa, ada air mata, ada pula janji-janji yang diucapkan sembari berpelukan: janji untuk tetap saling mengabari, janji untuk tidak melupakan, janji untuk bertemu lagi suatu hari nanti.

Aku menoleh ke arah samping, mencari sosok yang selalu ada di setiap langkahku. Rian berdiri di barisan siswa laki-laki, wajahnya tenang seperti biasa. Namun aku tahu, di balik ketenangan itu ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan.

Saat nama demi nama dipanggil untuk menerima ijazah, aku merasakan waktu berjalan terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku dan Rian duduk di bangku belakang kelas, bertengkar soal hal-hal kecil, saling meledek, lalu baikan lagi seolah tak pernah ada masalah.

Kini, hari ini, seolah ada jarak yang perlahan sedang dibangun di antara kami. Jarak yang mungkin akan semakin jauh saat masing-masing dari kami melangkah ke masa depan yang berbeda.

Sepulang acara, kami duduk berdua di taman belakang rumahku—tempat favorit sejak dulu. Rian menatap langit sore yang berwarna jingga, sementara aku hanya menatapnya.

“Ran,” katanya pelan.

“Ya?”

“Besok lusa gue bakal pindah ikut Mama.”

Kata-katanya membuat jantungku tercekat. Mendadak aku tak tahu harus berkata apa.

“Oh…” hanya itu yang keluar dari bibirku.

Kami terdiam cukup lama. Angin sore mengisi kekosongan percakapan kami.

Lalu aku tersenyum, meski aku tahu senyum itu tidak benar-benar utuh.

“Ya udah, nggak apa-apa. Di mana pun lo tinggal, gue tetap sahabat lo, kan?” ucapku mencoba terdengar biasa saja.

Rian menoleh sebentar, menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Iya. Sahabatan dari kandungan, inget?”

Aku mengangguk. “Sampai kapan pun.”

Dan untuk pertama kalinya, Rian tersenyum lebar—senyum yang jarang sekali kutemui. Senyum yang manis, tapi entah kenapa justru membuat dadaku terasa nyeri.

Sore itu, aku menyadari sesuatu: ada perasaan yang tak pernah sempat kuucapkan, karena aku terlalu sibuk menjaganya dengan nama sahabat.

Dan mungkin, begitulah cara terbaik untuk mencintai Rian—dengan diam, dengan sederhana, dengan tetap mendoakannya dari jauh. Dengan berlindung dibalik satu kata; Sahabat. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

hope and darkness

Tidak, itu bukan mimpi. Masih jelas terbayang kejadian 12 tahun yang lalu. Kejadian yang kemudian membawaku mengarungi derita tak bertepi. Peristiwa demi peristiwa. Sampai rasanya hidupku ingin kuberi judul sekumpulan tragedi. Sesak nafasku, leher yang seperti dicekik oleh tangan tak kasat mata, makhluk bertanduk yang muncul dari kegelapan, serta yang paling membuat pilu adalah, mereka yang tak satupun mendengar jeritku, sedangkan suara tawanya mampu kudengar dengan jelas diluar sana. Tuhan, mengapa engkau menjadikanku ada untuk kau biarkan derita menenggelamkanku pada titik nadir? Adakah aku melakukan kesalahan yang tidak bisa Kau maafkan? Atau, semua ini adalah caramu menyayangiku? -dengan membentukku menjadi sekokoh karang, yang tidak lagi gentar meski arus kencang menerjangku dari semua arah. *** Acara launching buku perdanaku akhirnya selesai dengan lancar. Setelah menyiapkan naskah itu selama kurang lebih satu tahun, akhirnya tiba hari ini. Hari yang menjadi klimaks dari ragam up...

untuk : yang pernah singgah

Oktober 2024 “Aku pengen dia tahu kalo di belakangnya selalu ada aku yang berharap. Semoga dia didekatkan sama hal yang bisa bikin dia happy” tukasku, “meski selamanya hanya bisa memandang dari belakang” Ranya setengah mendengus dan setengah tertawa sinis. Seolah perkataanku barusan adalah materi stand up comedy yang bisa mengundang tawanya. “Perasaan memang asli bisa bkin seorang Kiara jadi cewek yang bego dan nggak tau malu” Sinis Ranya. Perempuan berkacamata ini memang banyak tahu tentangku. Ia selalu menjadi telinga untuk tiap kisah yang tak pernah bosan kuulang. Dan menjadi buku diary berbentuk manusia tempatku berbagi banyak hal menyenangkan dan sebaliknya. Sedangkan dia, yang menjadi orang terpenting dalam kisah ini, adalah sosok yang tak pernah ku bayangkan akan menjadi sepenting ini. Padahal, melalui masa-masa kuliah dengan tenang dan jauh dari segala bentuk drama adalah hal yang selalu ku harapkan sebelum menjadi mahasiswa. Namun perjalanan yang diamanatkan semesta membawa...

Kisah Baru di Penghujung Semester 4

  Jika tulisan memang punya semacam kekuatan magis untuk mengekalkan kenangan, maka malam ini,aku memilih untuk merilis perasaanku melalui kata. Izinkan aku berkisah tentang seseorang yang entah dengan cara apa akhirnya berhasil merebut perhatianku selama kurang lebih setahun terakhir. Sosoknya mengagumkan-setidaknya di mataku. Meski beberapa temanku pernah bertutur bahwa dirinya terlalu ‘biasa aja’ untuk disukai seorang Qalbi (mereka pikir setinggi apa sih standarku? Hahaha) Aku menemukannya kala sisi hatiku yang lain pun tengah mengagumi seseorang yang lain. Senior. 3 tahun lebih dewasa. Dan barangkali, tanpa kusebut pun namanya, dirimu sudah punya bayangan akan mengarah kemana. Tapi perasaaan ini, ditakdirkan kandas oleh semesta. Ternyata kakak senior-yang kujuluki pemilik mata teduh telah menyimpan seorang pawang dalam diamnya. Bisa apa diriku yang baru anak kemarin sore? Hanya bisa mengucapkan sepotong singkat kata ‘selamat’ kala dirinya di wisuda beberapa bulan yang lal...