Oktober 2024
“Aku pengen dia tahu kalo di belakangnya selalu ada aku yang berharap. Semoga dia didekatkan sama hal yang bisa bikin dia happy” tukasku, “meski selamanya hanya bisa memandang dari belakang”
Ranya setengah mendengus dan setengah tertawa sinis. Seolah perkataanku barusan adalah materi stand up comedy yang bisa mengundang tawanya.
“Perasaan memang asli bisa bkin seorang Kiara jadi cewek yang bego dan nggak tau malu” Sinis Ranya. Perempuan berkacamata ini memang banyak tahu tentangku. Ia selalu menjadi telinga untuk tiap kisah yang tak pernah bosan kuulang. Dan menjadi buku diary berbentuk manusia tempatku berbagi banyak hal menyenangkan dan sebaliknya.
Sedangkan dia, yang menjadi orang terpenting dalam kisah ini, adalah sosok yang tak pernah ku bayangkan akan menjadi sepenting ini. Padahal, melalui masa-masa kuliah dengan tenang dan jauh dari segala bentuk drama adalah hal yang selalu ku harapkan sebelum menjadi mahasiswa. Namun perjalanan yang diamanatkan semesta membawaku bertemu dengan sosok yang mendobrak segala prinsip itu.
Pada awalnya, kukira hatiku tak akan luluh lagi dengan siapaun.
Namun lagi-lagi tentang semesta dan sikapnya yang selalu bercanda. Aku menyayangkan diriku yang mudah larut pada kesederhanaan yang ia tawarkan. Dan tidak habis pikir mengapa sapa yang sesekali diikuti dengan lambaian tangan selalu membuat kupu-kupu beterbangan di perutku.
“Lagian, kenapa harus dia yang udah punya someone special sih, Ra” Ternyata Ranya masih tak puas mengungkapkan keberatannya. “Masih banyak yang lain dan kamu nggak seharusnya terjebak oleh perasaan kamu yang terlalu buru-buru itu”
“Ya, ku akui memang bego sih. Tapi yang kamu harus tahu bahwa dia punya sumbangsih dalam membentuk Kiara yang seperti sekarang” sembari mematikan laptop dan membereskan barang yang tadi sempat berserakan. Aku menyeruput sisa-sisa hot macha yang tak lagi panas. Setidaknya, pahitnya bisa sedikit menyadarkanku tentang hal yang mungkin dan tidak mungkin di dunia ini. Bahwa seindah apapun harap yang kubangun, dia adalah seseorang yang akan selalu ada pada ranah tidak mungkin.
“Tugasmu sudah kelar?” aku membalikkan pertanyaan pada Ranya. Basa-basi sebenarnya, karena ku tahu sejak tadi ia tak benar-benar fokus menyelesaikan tugasnya karena cerita-ceritaku yang katanya selalu menjadi urgensi bagi dia.
“Belum nih. Tapi aman kok, bisa ku lanjutin besok” Ranya melangkah ke arah kasir. Menebus hot chocolate dan Matcha Cheese Cookies yang kali ini menjadi temannya menyimak ceritaku.
“abis ini kita kemana? “ ujarnya sesaat setelah selesai berurusan dengan kasir.
“Kita langsung ke fakultas aja yak. Sejam lagi matkul kedua soalnya”
Kakiku melangkah keluar dari kedai kecil yang sudah menjadi rumah kedua ku akhir-akhir ini. Menikmati sepotong Muffin dan Segelas hot matcha selalu menjadi pengalihan terbaik dari pikiranku yang semrawut.
Menyalakan sepeda motor, kemudian melajukannya kembali ke kampus. Aku meninggalkan tempat dimana aku pertama kali memupuk harapan. Harapan muluk yang sesegera mungkin harus sudah kuletakkan dalam sebuah kotak tua bernama kenangan
November 2023
Aku memarkirkan motor dengan tergesa, kemudian dengan terburu-buru melangkahkan kaki memasuki sebuah kedai bernuansa hijau putih yang terlihat asri karena tanamannya yang terawat. Hari itu aku adalah satu-satunya pengunjung, seperti biasa. Kedai ini memang terletak di dalam sebuah perumahan yang lumayan sepi. Mungkin belum banyak orang yang tahu keberadaannya.
Dan sejak kali pertama kesini, kedai ini memang langsung kudaulat menjadi tempat favoritku untuk menyendiri. Atau ketika sedang butuh fokus lebih untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan tulisan.
“Kak, Chocolate Muffin dan air mineralnya satu ya”, kemudian kuempaskan tubuh diatas sofa empuk berwarna maroon yang mungkin sudah bosan ku duduki. Hari ini matahari bersinar dengan sangat bersemangat. Saking teriknya, rasanya aku selalu ingin marah tanpa sebab. Perpustakaan kampus yang akrab denganku pun tidak berhasil menggugahku untuk mengunjunginya karena tidak mampu memberi kesejukan pada hari yang sangat terik ini.
Mengeluarkan laptop dan charger dari tas, kemudian membukanya. Sebelum larut pada tulisan yang akan ku selesaikan, aku terlebih dahulu mengecek social media. Barangkali ada suatu hal penting yang sayang jika kulewatkan. Keasikan Scrolling sampai aku tak menyadari bahwa seseorang baru saja memasuki kedai kemudian duduk di meja yang terletak di hadapanku setelah menyebutkan pesanan pada pemilik kedai.
Instagram masih menarik penuh perhatianku ketika telingaku menangkap sebuah sapaan ramah dari seseorang.
“Eh, Kiara kan?”
Aku mendongak, “Kak Faiz?” ucapku setengah perlahan. Memastikan bahwa pria dihadapanku adalah senior yang kutemui pada pengkaderan 2 bulan yang lalu. Ia mengangguk, kemudian menggeser kursinya lebih dekat. Kami duduk berhadapan.
“Ngapain disini?”
“Ini lagi ngerjain tugas, Kak. Heheh”
“Sendiri?”
Huh, basa-basi. Padahal sudah jelas bahwa hanya kami berdua yang menjadi pengunjung kedai siang ini.
“Iya kak” aku menjawab singkat. Tersenyum sopan. Aku memang tidak punya skill komunikasi yang baik, terlebih untuk seorang lawan jenis yang baru kutemui sekali.
Percakapan berlanjut. Dia bertanya, sedangkan aku hanya menjadi pihak yang menjawab. Lalu ketika sampai pada pertanyaan, “kamu suka baca buku?” disaat itu kata demi kata sudah berani keluar dari mulutku. Berbincang soal buku memang selalu berhasil membuat sisi lain dalam diriku muncul. Sisi cerewet seorang Kiara yang hanya sesekali ia tampakkan, itupun hanya pada orang tertentu.
Namun untuk kali ini, tak peduli dikatakan cerewet. Aku terjebak pada sebuah percakapan seru yang tak jelas objeknya. Awalnya masih tentang buku. Beberapa menit kemudian berkembang meliputi topik-topik lain yang menarik minat kami. Sejak saat itu, ku simpulkan bahwa senior yang berada di hadapanku saat ini adalah sosok yang sangat pandai menempatkan diri.
Setiap detik bersatu menjadi menit. Tiap menit berkumpul menjadi jam, kemudian menjelma bulan-bulan yang berlalu. Aktivitas sebagai seorang mahasiswa baru yang juga kekeuh untuk aktif berorganisasi sebenarnya sedikit membuatku kewalahan. Ada saat dimana aku sangat butuh menyendiri namun harus menunaikan kewajiban di Organisasi yang kuikuti. Mata kuliah di kampus nyatanya belum berhasil menarik minatku. Dan seperti beberapa orang yang terpaksa memilih jurusan yang bukan sesuai keinginannya, hari-hariku rasanya sangat mudah didatangi bosan dan begitu sulit untuk merealisasikan kata-kata semangat yang selalu ku afirmasikan untuk diriku.
Waktu demi waktu itulah yang akhirnya membuatku akrab dengan Ranya. Persamaan nasib. Ia yang sebenarnya ingin mengambil jurusan DKV, sedang aku yang belum move on dari jurusan Ilkom, dan akhirnya kami dipertemukan pada sebuah jurusan yang tidak pernah ada di dalam list kami sebelumnya.
Sosok yang kutemui pada Bulan November tahun kemarin masih sesekali menampakkan dirinya di hadapanku. Status sebagai mahasiswa semester akhir membuat waktunya di kampus sudah semakin minim. Ia masih tak alpa melempar sapa ketika kami berpapasan di koridor fakultas. Atau ketika dia duduk di taman fakultas dan melihatku datang dari arah parkiran. Sapaan yang selalu diikuti lambaian tangan. Serta senyum yang membingkai paras lelaki pemilik tatapan teduh itu.
Sampai saat ini, hanya Ranya yang tahu bahwa aku telah menaruh kagum pada sosoknya, sejak kami bertemu di Kedai beberapa bulan yang lalu. Dan untuk pertama kalinya aku memahami bahwa paras bukan tolak ukur dalam mengagumi seseorang. Sosoknya yang visioner, sederhana, dan lembut membuat dia memiliki tempat tersendiri di dalam hati seorang Kiara yang sebelumnya telah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa sampai lulus S1, ia tak akan membuka hati pada siapapun.
Desember 2023
“Ran, liat dehhh. Kerenn banget sihh”
Ranya mengalihkan atensi pada layar HP yang ku sodorkan
“hmmm pantas sih , Kiara yang punya prinsip yang kuat jadi lemah begini gegara seorang senior bernama Kak Faiz” tangannya menggulirkan layar handphone yang menampilkan akun Instagram Kak Faiz. Ada banyak prestasi yang tampil disana. Dan poin tambahan yang membuatku semakin jatuh adalah ternyata dia sudah kehilangan ibunya sejak belia. Alasan yang menurut praduga ku akhirnya membentuk Kak Faiz menjadi seorang laki-laki yang sangat menghargai perempuan.
“IYA KANNN” ucapku setengah berteriak. Ranya menimpuk tubuhku menggunakan bantal biru miliknya. “Nggak bisa ya kalo nggak teriak? Nanti ditegur Ibu Kost ku lagi”. Aku mencengir. Kembali menggulir layar HP yang masih menampilkan objek yang sama.
“Keren-keren gini, nggak mungkin deh kalo dia masih single” tuturku pada diri sendiri. “Pantas nggak sih kalo aku yang biasa-biasa ini ngarep sama dia yang sekeren ini?”
“Yokk bisaaa” Ranya menyemangati. Ia lalu meneliti wajahku sembari menyatukan kedua alisnya.
“Kenapa?” tukasku curiga.
“Kalo dilihat-lihat kamu oke juga kok. Sisa dipermak dikit lah” Ranya mengerling kemudian diikuti suara tawa sebesar toa yang berakhir dengan timpukan bantalku pada kepalanya.
Lalu kusadari bahwa sejak saat itu, aku berkomitmen untuk memperbaiki diriku. Aku pengen jadi seseorang yang keren. Mengikuti beberapa organisasi dan komunitas yang sesuai minatku, membaca lebih banyak buku agar ketika kami bertemu kembali, percakapan kami bisa semakin seru dan nyambung. Serta mulai bersemangat meniti hari demi hari di kampus karena aku sudah mulai memiliki sosok penyemangat meski tak secara langsung.
Beberapa bulan kembali berlalu.
Aku melalui hari dengan semangat yang tumbuh setiap harinya. Menyadari bahwa proses bertumbuh memang kadang semelelahkan ini. Kadang membuatku ingin berhenti, namun kemudian menyadari bahwa hidupku justru tak akan terasa “hidup” jika tanpa semua rasa lelah ini. Perlahan, aku menemukan keberanian yang sebelumnya tak ku miliki.
Kiara yang sebelumnya sangat anti pergi sendiri, Kiara yang bahkan untuk masuk ke minimarket dan singgah di pom bensin pun harus ditemani, Kiara yang selalu mencari sudut paling sepi ketika terpaksa harus berada di tempat yang ramai, Kiara yang pasif, Kiara yang pernah tidak percaya lagi pada mimpi, akhirnya menjelma Kiara dengan beberapa capaian-capaian kecil yang membuat hidupku mulai terasa berarti.
Untuk pertama kali, tulisanku dimuat di media. Aku diundang untuk menjadi narasumber pada sebuah program podcast milik pemerintah Kota. Aku menjadi moderator pada seminar nasional. Aku yang mulai berani membagikan tulisan dan refleksi pada akun instagram pribadiku. Aku yang sudah berani pergi ke tempat-tempat jauh sendiri. Dan tak lagi membungkuk dan menunduk ketika berjalan di tengah keramaian.
Kiara yang sekarang sudah mulai menemukan dirinya. Dan mengetahui perihal sesuatu yang bisa membuatnya hidup dan merasa bermakna.
Beberapa teman sempat bertanya perihal motivasiku untuk bertumbuh. Dan selalu jawaban template dariku adalah karena aku bosan menjadi pihak yang hanya bisa menonton, dan sesekali ingin merasakan menjadi subjek seperti orang lain yang namanya selalu berlalu lalang di media sosial.
Tanpa seorangpun yang tahu, hanya Ranya, bahwa segala perubahanku adalah karena aku ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa aku pantas untuk Kak Faiz. Kalian mungkin tidak pernah tahu bagaimana hampanya ketika kita mengagumi seseorang, namun suara sumbang dan ejekan itu justru datang dari dalam diri sendiri. Aku merasakannya. Setiap kali sosok Kak Faiz terproyeksi dalam kepalaku, seketika juga muncul suara bahwa aku tidak pantas untuk sosok sekeren itu.
Dan pada tiap perubahan yang kualami, tiap keberanian yang kugenggam, semua muaranya adalah karena aku juga ingin menjadi salah satu bintang yang bisa berada di langit yang sama dengannya.
Sayangnya, itu semua tidak bisa menghilangkan fakta bahwa Kak Faiz sudah memiliki sosok spesial dalam hidupnya. Sosok yang mungkin bisa memenuhi peran sahabat sekaligus ibu yang sudah lama tidak lelaki itu rasakan.
Aku mengetahui hal ini ketika kulihat story Instagram Kak Faiz menampilkan seorang perempuan dalam wujud siluet dengan latar belakang senja yang indah. Aku tidak pernah tahu siapa perempuan itu, yang ku tahu bahwa dia adalah perempuan beruntung karena bisa menikmati tatap teduh Kak Faiz dalam waktu yang lama. Namun perasaan itu masih tidak memudar juga. Aku hanya mengikuti cara main semesta. Kuharap perasaan ini akan hilang dengan ssendirinya
November 2024
Hari wisuda. Euforia dari mahasiswa yang akhirnya lulus pada hari ini dapat kurasakan begitu kuatnya. Perjuangan lebih kurang 4 tahun pada akhirnya menemukan muaranya hari ini. Tiap perjuangan, effort, waktu dan beberapa hal yang dikorbankan, hari ini akan segera tertebus oleh sebuah gelar yang membanggakan.
Aku memandang dari kejauhan pada orang-orang dengan toga yang menutupi kepalanya. Sekejap lagi mereka akan pergi. Selesai.
Sama halnya perasaanku yang juga harus ku paksa selesai. Kak Faiz menjadi salah satu manusia yang akan pergi hari ini. Belum kudapati sosoknya sejak tadi. Aku mengeratkan genggaman pada paper bag yang kutenteng. Semoga hari ini aku diberi setitik keberanian untuk mengungkap sesuatu sebelum ia benar-benar menghilang.
Ditemani Ranya yang sangat supportif hari ini, aku menyusuri lokasi wisuda dan menyisir pandangan dengan seksama. Rasanya sudah 3 kali ku kelilingi tempat ini, namun sosoknya tak juga tertangkap oleh netra.
Aku menghembuskan napas, “ Kayaknya emang udah nggak ada kesempatan lagi deh, Ran” mungkin orang yang kucari sejak tadi sudah pulang. “Kita pulang yuk!” aku menggamit lengan sahabatku setengah memaksa.
“Yakin mau menyerah secepat ini? Kita belum sempat cari dia di sudut yang lain loh” Ranya kekeuh menghentikan langkahnya. Pun langkahku. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Berharap ada keajaiban, mungkin
“Udah, kita pulang aja. I'm fine kok”
“Serius? “
“Dua riuss Raaannn” aku menariknya menuju pintu keluar. Lama berada disini membuatku merasa sesak. Entah sesak karena berebut oksigen dengan ribuan manusia yang lain yang masih ada di ruangan ini, atau sesak karena menyadari bahwa aku tidak pernah punya kesempatan sedikitpun untuk bertemu dengan Kak Faiz sebelum dia menghilang dari peradaban kampus.
“Kita ke ‘Meja Kue' aja yuk “ rasanya aku sudah begitu lama tidak mengunjungi kedai itu. Sekarang, aku butuh hot matcha untuk meminimalisir perasaanku yang sedikit getir.
Sesampai di parkiran, Ranya mengeluarkan sepeda motor, kemudian dengan hati yang tidak penuh, aku meninggalkan tempat ini dengan resiko bahwa sampai kapanpun aku tak akan pernah bertemu dengan orang itu lagi.
“Ehh helmnya kelupaan” Ranya meneriakiku yang lupa melepas helm sebelum berjalan menuju pintu masuk kedai favoritku. Aku hanya tersenyum tipis, memberikan helm itu kepada Ranya kemudian melangkah tergesa memasuki Kedai.
Sesaat setelah masuk, netraku menangkap sosok yang tidak asing. Ia masih mengenakan setelan batik wisuda, namun toganya sudah ia letakkan entah dimana. Tak perlu waktu lama untuk sosok itu menyadari kehadiranku.
Ia mendongak dan tersenyum. Tatapan teduh itu
“Eh, ketemu Kiara lagi. Kebetulan sekali ya” ia meletakkan buku yang sejak tadi menjadi objek atensinya.
Ki, pokoknya kali ini kamu harus berani. Semangat! , batinku
“Iya nih Kak, tadi aku cari Kak Faiz di auditorium tapi nggak ketemu” aku menyodorkan paper bag berisi parfum yang sedari tadi masih ku tenteng. “Mau ngasih ini, Kak. Terimakasih selama ini udah banyak ngajarin aku, dan udah banyak sharing pengalaman juga, Kak Faiz sudah banyak memotivasi aku selama ini”
Kak Faiz tersenyum. Netranya berhenti tepat pada netraku. Ia mengambil paperbag itu dan hendak membukanya,
“Ehh nggak boleh dibuka dulu kak” , aku sigap menahan. “Nanti aja yah kalo sudah sampai rumah. Hehehe” aku berusaha bersikap biasa. Mengabaikan suara hati yang sudah rusuh sejak tadi. Mengabaikan kinerja jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Okee siapp. Makasih yaa diks”
Aku tersenyum sedikit getir. Hanya sekedar adik ya kak?
“Btw selamat ya Kak Faiz, akhirnya drama skripsinya selesai juga. Congrats juga buat predikat lulusan terbaiknya. Nggak salah deh kalo Kiara su-“ aku membungkam mulut Ranya dengan gerakan yang kelewat cepat. Anak ini memang kadang-kadang minta disumpal mulutnya pake batu.
Namun Kak Faiz hanya bersikap santai. Tak ada perubahan ekspresi di wajahnya. “Makasihh Ranyaa. Kalian berdua juga semoga bisa cepet-cepet lulus dan bisa dapat predikat terbaik”
“Aamiin” ucapku dan Ranya bersamaan. Bedanya, Ranya bersemangat sedangkan aku tidak. Ada kata yang sedari tadi memaksa keluar dari bibirku. Ada pengakuan yang selama ini sudah kupendam lama, dan hari ini harus ku ungapkan pada lelaki di hadapanku.
“Kak Faiz, sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu” aku tak berani menatap wajahnya. Sungguh. Pertemuan pertama kami di pengkaderan, percakapan 60 menit di Kedai yang menjadi awal dari rasa dan harapku. Tiap sapa yang ia lontarkan kala kami berpapasan, sikap ramahnya yang dahulu sempat ku salahtafsirkan, bantuan-bantuannya yang pernah membuatku merasa spesial.
Nyatanya itu semua akan berakhir hari ini. Dan mungkin ia tak akan pernah kutemui kembali.
“Kak Faiz, sebenarnya aku- ”
Suara handphone berdering, mengganggu, membuatku benci.
“Ehh entar dulu, Ki. Saya angkat telfon dulu yaa” lalu tanpa menunggu persetujuan ku, ia melangkah keluar begitu saja.
Persetujuan? Memangnya kamu siapa Kiara? . Hatiku dan suara-suara sumbangnya.
Ranya terdiam. Aku kehilangan tenaga. Terlebih ketika intro lagu You're Gonna Live Forever In Me milik John Mayer mulai terdengar dari langit-langit ruangan.
Ada sekitar 5 menit Kak Faiz menelpon. Setelah itu ia kembali ke tempatku. Namun kali ini dengan ekspresi yang tidak tertebak.
“Ki, Ranya, maaf banget. Saya harus pergi sekarang. Ada hal urgent yang udah nunggu. Next time ketemu lagi ya. Byee!” kemudian berlalu begitu saja tanpa merasa perlu menunggu jawaban kami.
Sedan putih itu menghilang dari pandanganku. Sama seperti semangatku yang sepertinya ikut hilang.
Ada. Hal. Urgent. Ada hal urgent, Kiara. Dan sayangnya kamu nggak cukup penting apabila dibandingkan dengan sosok itu. Aku menertawakan diri sendiri. Menyedihkan sekali. Bahkan di saat-saat terakhir pun, aku tidak pernah diberi kesempatan untuk mengakui perasaan.
Hot matcha pesananku masih utuh tak tersentuh. Kepulnya sudah menghilang, terganti hawa dingin. Laki-laki itu sudah pergi, dan aku juga sudah harus meletakkan perasaan ini. Disini.
Pada tempat dimana semuanya berawal. Atau lebih tepatnya, di tempat dimana semuanya kuawali sendiri. Sikap Kak Faiz tadi sudah sangat jelas menyiratkan pesan, bahwa Kiara hanyalah salah satu orang random yang terjebak masuk ke dalam hidupnya. Dan dibandingkan dengan sosok yang menelpon tadi, aku sama sekali bukanlah siapa-siapa.
Sosok yang menempati hati Kak Faiz entah sejak kapan. Namun aku yakin bahwa ia tak akan bisa tergantikan dengan mudahnya.
Kutahu, sebab ketika dering tadi terdengar, handphone Kak Faiz menampilkan gambar siluet seorang perempuan dengan latar belakang senja yang dahulu pernah kulihat di story Instagram Kak Faiz. Bedanya, sosok yang kulihat di story Instagram kemarin hanya sendiri, dengan pose candid. Sedangkan gambar yang kulihat tadi menampilkan sosok perempuan yang sama, yang mengarahkan pandangannya ke arah matahari yang terbenam, dan disampingnya ada siluet Kak Faiz yang sedang mengarahkan tatapan ke arah perempuan itu.
Semoga bahagia selalu, Kak. Senang bisa kenal dan menaruh rasa.
Selesai.
NB : Ini hanya sekedar fiksi ya guys. Mwehehehe
Komentar
Posting Komentar