Tiba tiba saja aku disesapi ketakutan.
Di penghujung usia 19 tahun ini, aku memberanikan diri untuk melangkah keluar dari zona nyaman. Aku mulai mengikuti beberapa organisasi dan komunitas, baik di dalam maupun di luar kampus dan berusaha totalitas dalam organisasi tersebut.
Aku mulai menyibukkan diriku pada berbagai kegiatan yang ku sukai. Yang ku anggap bisa menjadi wadah untukku mengembangkan diri.
Dan hari ini, pertama kalinya dalam hidup ku beranikan diri untuk mengikuti kegiatan komunitas, dimana pada kegiatan tersebut tak ada sama sekali yang ku kenali. Aku memaksa diri untuk tetap pergi, melawan rasa takut yang salah kuartikan sebagai rasa mager.
Namun ternyata ketakutanku berakhir tak terbukti. Semua berjalan lancar. Pembicaraan yang tercipta cukup santai sehingga aku tak kesulitan untuk mengeluarkan buah pikirku. Rasa senang membuncah turut kurasakan hari ini, sebab teman duduk yang kuajak berbincang ternyata bukan sembarang orang.
Diantara mereka ada yang sering ikut lomba tingkat internasional, ada yang berkecimpung di dunia bisnis, ada yang aktif di dunia debating, ada yang merupakan mahasiswa berprestasi sebuah kampus, juga ada yang mengemban duta remaja dan duta inspirasi.
Aku sungguh tidak pernah menyangka akan bertukar pikiran dengan mereka-para manusia keren ini. Melihat diriku selama ini yang lebih banyak merasa inferior, merasa rendah, pesimis, dan selalu hanya menjadi pihak yang mampu mengintip tiap kesuksesan seseorang melalui media sosial untuk kemudian merasa iri sebab aku masih jauh dari kesuksesan tersebut.
Agaknya, perasaan inferior ini tercipta karena aku selalu berpikiran bahwa menggapai sesuatu merupakan hal yang sulit dan terlalu muluk. Ku sangka status sosial menjadi satu-satunya jalan dan pendorong untuk menggapai hal yang diinginkan. Lalu aku mulai memandang orang-orang-yang kuanggap keren itu sebagai seseorang yang terlalu tinggi untuk bergaul dengan seorang manusia yang tak punya apa-apa seperti diriku. Ku sangka mereka hanya akan bergaul dan bersedia bertukar pikiran dengan orang-orang peraih kesuksesan yang setara dengan mereka.
Nyatanya salah.
Justru, aku baru sadari bahwa semakin tinggi keilmuan seseorang, maka semakin rendah ia menempatkan dirinya. Semakin ia merasa tidak tahu dan tak punya apa-apa, sehingga berteman dengan siapa saja tak jadi masalah untuk mereka. Aku selalu salut dengan orang seperti ini. Ia yang tak pilih pilih dalam bergaul. Yang cerdas menempatkan diri tergantung dari sesiapa yang sedang ia hadapi. Yang membuat manusia sepertiku tak lagi merasa inferior ketika ngobrol dengan mereka.
Lalu, setelah beberapa jam yang terasa singkat, satu persatu dari kami undur diri setelah sebelumnya mulai menyusun kerangka suatu proyek yang ingin dilakukan bersama. Selepas dari tempat tersebut, aku dan Habiba-temanku mengisi perut di sebuah kedai sekitar kost-an Habiba. Lalu kembali ke rumah untuk mengistirahatkan fisik dan mental yang lelah, serta energi sosial yang agak terkuras sebab hari ini telah berinteraksi dengan banyak orang.
Ketakutan itu mulai timbul saat aku tiba di rumah, lalu sendiri di dalam kamarku. Terlebih ketika pengumuman seleksi berkas dari UKM yang kuikuti mulai muncul di grup WA. Ya, aku lulus dalam seleksi berkas itu. Justru itulah sumber ketakutanku.
Tiba-tiba saja aku merasa telah tanpa sadar meletakkan begitu banyak beban di pundakku. Tiba-tiba aku takut menjadi begitu sibuk sehingga berpengaruh pada study ku di kampus. Tiba-tiba aku berpikir, 'tidakkah aku telah melakukan hal yang salah?'
Lama kelamaan, perasaan cemas datang menemani ketakutanku. Sampai detik ini. Ketika satu persatu aksara ini kususun sedemikian rupa.
Ah, sepertinya overthinking ku kembali mengambil alih. Sangat mengganggu. Namun kau harus tahu bahwa aku tak ingin memilih lengah. Lagi. Sesuatu yang ku mulai pantang rasanya untuk berhenti sebelum ia benar-benar selesai. Aku memilih untuk membangunkan diriku dari tidur panjang yang berselimut rasa aman dan nyaman tanpa tantangan. Maka aku akan menghadapi tantangan itu. Melawan cemas. Meminimalisir bahkan menghilangkan ketakutan. Aku tak akan jadi siapa-siapa jika kubiarkan perasaan inferior menguasai diriku. Sebab aku punya daya. Dan kini satu persatu kesempatan mulai membuka pintunya lebar-lebar di hadapanku. Sangat bodoh jika aku hanya diam berdiri dan tak memasuki pintu tersebut.
Meski kutahu, setelah aku memutuskan untuk masuk ke dalam pintu tersebut, aku harus siap untuk segala sesuatu yang baru. Yang selama ini jauh dari kebiasaanku. Bukankah hal ini yang kudambakan sejak lama? Maka disaat takdir berbaik hati memberiku kesempatan, aku akan menggenggam kesempatan itu dengan kedua tanganku seerat yang aku bisa.
Kita semua manusia. Orang-orang yang kerap tampil di TV dan memiliki banyak penggemar adalah seorang manusia. Anak-anak jalanan yang terjebak dalam lingkar kemiskinan dan nestapa adalah seorang manusia. Begitupun kita yang berada di tengah-tengah kedua realitas tersebut. Pun adalah manusia.
Yang membedakan adalah keputusan. Juga usaha. Apakah diriku ingin tetap menjadi Qalbi yang tertidur nyenyak dan tak berkembang dalam ruang yang kuanggap zona nyaman, atau diriku bersedia untuk melangkah memasuki pintu yang punya seribu satu kemungkinan, yang akan membangunkan kembali ketakutan dalam diriku.
Semangat untukku! Juga untukmu yang membaca tulisan ini. Hidup hanya sekali. Kabar baiknya, Tuhan memberi satu hal yang sama terhadap semua manusia untuk menggunakannya dengan bebas sebebasnya, yakni akal.
Bersama diriku, aku akan melaju. Terlalu lelah untuk sekedar menjadi pihak yang menonton kesuksesan orang lain. Akupun ingin menjadi pihak yang ditonton. Yang mampu memberi motivasi kepada mereka melalui kisahku sendiri.
Malam ini, perasaan inferioritas akan kuletakkan disini. Sudah cukup ia mengekoriku selama 19 tahun terakhir ini. Saatnya ia berhenti total.
Karena sekarang, Qalbi akan berani. Semua rasa tidak pantas dalam berbagai hal tak akan lagi kubiarkan merampas keberanianku. Secara perlahan, janjiku pada diri sendiri akan menjadi seorang pengabdi. Bagi diri sendiri, keluarga, juga masyarakat.
Detik ini, semua tak lagi sama.
bii.
Komentar
Posting Komentar