Dahulu, aku selalu memahami bahwa privilege adalah ketika kita memiliki fisik indah menawan, harta berlimpah, atau punya kekuasaan yang akan dengan mudah menjembatani kita untuk memperoleh hal-hal yang diinginkan
yang akhirnya membuatku sedikit kesal-dan merasa tak adil.
sebab,
pertama, aku tak termasuk ke dalam kelompok manusia good looking yang banyak didamba oleh orang-orang. Fisikku biasa-biasa saja, dan untuk sekarang aku tak lagi mempermasalahkan hal ini.
kedua, aku tak terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan. Selama ini, kami hidup sederhana tapi cukup. Hal yang sempat ku protes kepada mama saat masih belia dulu, mengapa aku tak seperti kawanku yang lain, yang sangat mudah membeli mainan baru.
Ketiga, orangtuaku bukan seorang pejabat, hingga aku tak akan pernah punya "orang dalam" yang kurasa akan cukup memudahkanku untuk mencapai beberapa hal.
Aku pernah menjadi seorang manusia yang sulit menerima takdirku sendiri. Selalu terlontar pertanyaan mengapa. Mengapa tak semua manusia diberi kesempatan untuk menjadi orang kaya? Bukankah itu bukan suatu hal yang mustahil bagi Tuhan?
Kembali lagi ke permasalahan awal. Privilege. Hak Istimewa.
Beberapa bulan belakangan ini, aku mulai menyadari bahwa privilege tak hanya berkaitan dengan tampang, uang, atau jabatan.
Memiliki kedua orangtua yang selalu mensupport anaknya, itu pun adalah bentuk privilege bagi sang anak.
dan kurasa, aku memiliki hal ini. Mama dan iye' (sebutanku untuk bapak) bukan figur orangtua yang akan dengan mudah memberi semua hal yang diinginkan oleh anaknya.
Namun baru kusadari sekarang bahwa mereka pasti selalu menyediakan segala hal yang kubutuhkan, meski tanpa kuminta.
Orangtuaku bukan figur orangtua yang akan rela melepas anaknya hidup bebas di kota. Awalnya, kukira ini sebab karena mereka tak percaya padaku. Sempat membuatku tak habis pikir sebab di usiaku yang akan menjejak angka dua puluh ini, aku masih merasa dianggap anak kecil oleh mereka.
Namun kini aku juga sadar, bahwa itu adalah bentuk kasih sayang mereka padaku yang tanpa batas. Mereka takut aku kenapa-kenapa. Mereka telah lebih lama hidup di dunia, dan tentunya lebih mengetahui seluk beluk dunia dibanding aku yang baru saja menjejak usia remaja. Mereka "mengekang" bukan berarti tak percaya, namun sebagai bukti cinta. Bahwa mereka tak pernah rela jika anaknya kenapa-kenapa.
Mama mungkin tak seperti mamanya teman-temanku yang gaul, modis, dan selalu membelikan baju baru untuk anak perempuannya. Namun mamaku tak pernah lepas mengingatkanku tentang kewajiban-kewajiban yang ku emban sebagai umat Islam. Mama selalu lebih mendahulukan kepentinganku dibanding dirinya sendiri. Mama selalu merelakan makanannya untukku, jika bagian milikku sudah habis dan aku masih belum puas memakannya.
Setiap mama membeli baju, jilbab, tas, atau sepatu baru, mama pasti selalu menawarkan kembali barang itu padaku. Dan tak masalah jika aku mengambilnya padahal sejak awal ia membeli barang itu untuk dirinya sendiri 😭.
Ketika aku masuk pesantren, bapak bercerita bahwa mama tidak pernah alpa menitikkan air mata selepas beliau shalat dan berdoa untuk kami semua, bahwa mama seringkali bercerita pada bapak betapa ia merindukan aku. Dan setiap kali libur dari pondok dan kembali ke rumah, mama selalu effort memasakkan makanan yang sedang kuinginkan.
Dan sampai sekarang, aku tak pernah merasa memiliki batas dengan mamaku.
Kalau kalian berpikiran kalau mamaku tidak pernah marah, kalian salah besar . hehe.
Mamaku pun sering marah. Mama marah kalau sholatku bolong-bolong. Mama marah ketika aku mulai tak memperhatikan jadwal makanku. Mama marah ketika aku tak peduli pada kesehatanku.
Di usia 19 tahun ini, satu hal yang kudapati dari Mama adalah beliau yang selama ini selalu teliti menjaga kesehatan kami, hingga kadang lupa menjaga kesehatannya sendiri.
Begitupun dengan bapak. Di suatu hari, Qalbi usia 9 tahun pernah bertanya sama Mama, "kenapa bapak tak jadi pedagang saja?"
"Kenapa bapak tidak kerja di kantor supaya keren?"
"Kenapa bapak lebih memilih menjadi seorang petani?"
Aku yang dahulu menganggap bapakku bukanlah sosok bapak yang ideal.
Namun sekarang, kenangan masa lalu yang kembali terputar dalam benakku berhasil menyentakku pada satu kesadaran, bahwa Bapak adalah salah satu orang yang paling berarti dalam hidupku.
Bapak selalu ada di tiap momen penting dalam hidupku.
Aku masih berusia 6 tahun kala adik keduaku dilahirkan. Masih kuingat suasana saat itu yang kurasa kelabu. Antara senang dan sedih akan memiliki seorang adik. Emosi yang akhirnya kukeluarkan dalam bentuk tangisan, namun bapak hadir menenangkanku, mengantarku membeli jajanan kesukaan, lalu membuatku paham bahwa kasih sayang mama dan bapak tidak akan berkurang sedikitpun, meski aku tak lagi menjadi anak satu-satunya di keluarga kami.
Bapak selalu hadir di masa-masa ketika aku mulai tumbuh menjadi gadis kecil yang kritis. Yang mulai mempertanyakan banyak hal. membacakan dongeng buatannya sendiri sebelum aku tidur, dongeng yang entah beliau kutip dari kisah yang mana.
Bapak menjadi penguat disaat aku menjalani hari-hari di rumah sakit. Beberapa waktu terbaring di bangsal rumah sakit membuat kedua saraf kakiku melemah, sehingga aku kehilangan kekuatan untuk berjalan. Bapak tak pernah meninggalkanku selama proses pemulihan. Bapak selalu sabar menuntunku hingga akhirnya aku kembali mampu untuk berjalan.
Begitupun fase-fase berikutnya dalam kehidupanku yang akan sangat panjang jika ku rincikan satu persatu.
Kini kusadari, Mama dan Bapak adalah privilage terbesarku. Sekaligus paling spesial. Dua figur yang akan selalu menjadi support terkuat bagiku dalam menjalani hidup di dunia.
19 tahun hidup bersama mereka. Nyatanya beberapa hal tentang mereka masih belum bisa kupahami dengan baik.
Larangan dan kata jangan yang seringkali terlontar kadang kuanggap terlalu berlebihan. Beberapa keputusan mereka yang kadang tak sesuai inginku, seringkali sulit untuk kucerna.
Aku selalu menyangka bahwa diriku sudah cukup dewasa untuk berdiri diatas pilihanku sendiri. Namun setiap kali pulang kerumah, menyaksikan keduanya yang mulai menua, aku sadar bahwa sampai kapanpun aku tak akan pernah cukup dewasa di mata mereka.
Sekarang kupahami bahwa menjadi sosok kanak-kanak di depan mereka mungkin lebih baik. Sebab perasaan sudah dewasa kadang meninggikan ego kita untuk mengucap maaf, terimakasih, atau sekedar mengungkapkan kerinduan.
Banyak hal yang tak kupahami. Dan mungkin selamanya tak akan kupahami. Kini, itu bukanlah masalah. Selama aku masih bisa melihat mereka sehat dan bahagia setiap kali aku membuka mata.
Mak, Pak, Terimakasih untuk cinta tanpa syaratnya ❣️
Saya tidak akan pernah lelah memohon kepada Tuhan untuk memberi saya kesempatan agar tumbuh menjadi anak yang membanggakan, yang membuat Mama dan Bapak bangga dan bahagia, di kehidupan dunia, dan juga kehidupan setelahnya.
Tertanda,
bii
Komentar
Posting Komentar