Langsung ke konten utama

Postingan

menuju 6 esok

441.600 sekon menuju hari dimana semesta dimulai. entah aku menyebutnya bergerak maju atau mundur. sebab yang berkaitan dengan waktu selalu dipenuhi paradoks. bertambah-berkurang; maju-mundur. apakah dalam hal ini kita juga bisa mengatakan, tergantung dari perspektif mana kamu menilai?  tapi wahai buana, bolehkah jika kali ini aku merepresentasikannya kedalam 6 huruf berkekuatan akbar ? mudah saja dieja. ringan dirapal lidah; syukur . tapi, apakah ketika ihwal menyapa diri, ia masih gampang pula dipakai dalam laku? 7659 kemarin. dan entah akan ada berapa lagi esok yang kauhadiahi padaku. rasa-rasanya, hidup ini terlalu baik. terlalu dermawan memberi. terlalu ikhlas diperlakukan begitu. andai jahat, mungkin sejak sekian lama kau memilih alpa. dihidupi oleh seorang manusia berinisial cahaya dan hati seperti pelak membuatmu harus berulang kali berkawan masalah. acap jatuh di lubang yang sama. kerap menyengaja luka yang pernah mendatanginya lalu – lalu. tapi sekali lagi, kau tetap pa...
Postingan terbaru

di balik kata sahabat

Yang kuingat, Rian selalu ada dalam setiap episode kehidupanku. Jika di dunia ini memang benar bahwa ada seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi soulmate kita, barangkali dialah orangnya. Dia sudah selalu ada di depan mataku, sejak aku mampu melihat dunia. Rumah kami berdampingan, begitupun jendela kamarku yang berhadapan dengan jendela kamarnya. Sejak belia, kami sudah sering bersama-sama memandang bintang dan rembulan di langit malam yang pekat. Lalu entah pada malam yang keberapa, saat itu aku kelas 2 SMP, dia kelas 3 SMP. “Rania, nanti kalo udah gede kamu mau jadi apa?” tanyanya suatu ketika. Pandangannya tetap melangit. “Hmmm.” Kuletakkan telunjuk di dagu, berekspresi seolah-olah berpikir keras. “Nggak tahu nih. Mau jadi istri kamu aja boleh?” Aku tersenyum jenaka kala Rian memutar kedua bola mata. Sengaja membuatnya jengkel. Bagiku, ekspresi wajahnya ketika marah selalu mengundang aku untuk selalu membuatnya marah. Tanpa aba-aba, ia menyentil kepalaku. “Bego lu,” ia beranjak dar...

a poetry

  hujan jatuh seperti kaki kaki langit. sore itu, segalanya terasa lambat. deru napas tak sekencang biasanya. suara air menabarak apapun yang ada di bumi. ranting pepohonan, daun, tanah beserta debu debunya. seng. semua. luruh langit, sempurna menyuruh awan mendekapnya, entah lelah, atau hanya ingin bersembunyi. pukul 3 sore serta riuh dari kepala iringan musik instrumen coklat karamel di tangan kanan, separuh tergigit wahai kemarilah bahagia aku ingin hidup lebih lama
Hai. ini aku, bii. sedang ingin menyapamu malam ini -syukur-syukur bisa menjalin obrolan panjang. sebab aku teramat penasaran, bagaimana dunia ini di matamu. dan, bagaimana aku. seperti biasa, perasaan tentangmu hanya bisa kutuang dalam bentuk kata. juga rindunya, yang kupeluk sendiri bersama bebannya. entah kau merasakan beban itu, atau tidak sedikitpun. "sedang apa dirimu malam ini? " kira" kapan tanya itu bisa ku lontarkan padamu? "mengapa nomor whatsapp mu hanya aktif 9 jam yang lalu? " aku yang hanya bisa mengetahui kabarmu melalui sosial media harus menelan bulat-bulat kekhawatiran itu. namun semoga, kesehatan dan bahagia selalu berjodoh denganmu :) aku ingin bercerita banyaaaaak sekali hal, sebenarnya. ingin merasakan bagaimana indahnya dirayakan, dan juga ingin memiliki seseorang untuk kurayakan -dalam hal ini, dirimu, semoga. tidakkah kau pun berpikir hal yang sama? jadi, kira-kira dimana ragamu bernaung malam ini? tidakkah rindu menyapamu, se...
  harap-harap mulai tumbuh subur tak terkendali. seperti jamur di musim penghujan. seperti benih yang dipelihara dengan sepenuh hati. namun kali ini, pupuk nya hanyalah angan. serta harapan itu sendiri. sementara di sisi lain. bahagia tumbuh dari hal yang terlalu sederhana. dari kehadiran yang secepat bayang. dari percakapan yang hanya ada dalam pikiran. dari dugaan.